Pemerintahan era Joko Widodo bertekad menjadikan Indonesia
sebagai poros maritim dunia. Maritim bukan berarti banyak pulau namun, negara
yang mengandalkan perekonomian dari laut. Mengingat Indonesia adalah negara
dengan area perairan yang lebih luas daripada daratan. Sangat menguntungkan
bagi rakyat apabila mengelolanya secara maksimal.
Demi terciptanya cita-cita tersebut, Jokowi menempatkan 5
pilar sebagai tumpuan. Pertama membangun kembali budaya maritim. Kejayaan
maritim nusantara sudah dibuktikan pada zaman kerajaan. Penempatan letak pusat
kerajaan di pesisir perairan menguntungkan mereka dalam segi perekonomian,
pertahanan, dan memperluas ajaran. Selain menjadi pusat perdagangan, letak
strategis tersebut digunakan untuk membangun armada angkatan laut. Dalam era
sekarang ini industri kecil dan menengahlah yang menopang tulang punggung
Indonesia. Pada tahun 2013, industri kecil menengah mampu menyerap 10.3 juta
orang dan turut menyumbang ekspor sebesar 19.58 juta dolar Amerika. Oleh
karenanya, pemerintah harus membantu mengembangkan IKM serta menumbuhkan industri-industri
baru terutama di daerah sekitar pelabuhan, agar mempermudah proses produksi dan
distribusi.
Kedua adalah menjaga dan mengelola sumber daya laut. Semua
kekayaan maritim Indonesia digunakan untuk kepentingan sendiri. Penegakan pilar
ini dinilai berjalan efektif. Seperti penenggelaman 81 kapal oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan bulan April lalu. Namun, apakah penenggelaman ini
berdampak positif terhadap ekosistem laut? Perlu adanya kajian ulang tentang langkah
yang diambil pemerintah dalam memberikan efek jera kepada pelaku, belum lagi
negara pelaku yang tidak terima atas penenggelaman kapal.
Selanjutnya adalah pengembangan infrastruktur dan
konektivitas maritim. Penambahan trayek angkutan laut perintis serta keseriusan
pemerintah dalam mengelola tol laut menjadi modal pemerintah dipilar ini.
Bitung (Sulut) contohnya, Juni 2017 pemerintah resmi menambah jalur pelayaran
untuk rute Davao (Filipina) dengan Bitung. Jika sebelumnya memerlukan waktu
selama 5 pekan untuk mendistribusikan barang, kini hanya 2 hari saja.
Pemerintah optimis dengan ditambahnya trayek akan mendorong dibangunnya
hinterland di kawasan tersebut. Akan tetapi, komoditas ekspor Bitung sampai
saat ini didominasi kopra dan jagung, belum ada industri-indusri besar yang
bisa membangkitkan pelabuhan. Penambahan trayek tol laut akan terkesan
pemborosan APBN apabila tidak diikuti perkembangan industri di daerah-daerah
tujuan tol laut.
Keempat adalah diplomasi maritim. Menjadi poros maritim
dunia tidak bisa diwujudkan tanpa bantuan-bantuan negara lain. Pada 2013
presiden Cina, Xi Jinping, mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra
(Silk Road Economic Belt) dan konsep Jalur Sutra Maritim Abad 21 (21st Century
Maritime Silk Road). Kedua konsep tersebut kemudian digabungkan menjadi
inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalur, One Belt and One Road (OBOR). Bertujuan
untuk membangun konektivitas yang menghubungkan Cina dengan negara-negara Asia
Tengah, Asia Barat, dan sebagian Asia Selatan. Jalur ini kemudian mempermudah
kerjasama ekonomi, termasuk koordinasi kebijakan, kolaborasi finansial dan
perdagangan, serta kerjasama sosial budaya. OBOR digadang-gadang bisa
menciptakan keuntungan bagi semua kalangan. Jangan sampai OBOR menjadi tujuan
Cina dalam membuang barang-barang hasil produksi yang berlebihan. Apalagi kalau
ke Indonesia, jika pemerintah tidak melindungi produksi dalam negeri,
dipastikan Indonesia hanyut dalam arus OBOR.
Terakhir adalah membangun kekuatan pertahanan maritim.
Penegakkan aturan perbeaan, imigrasi serta aturan ekspor-impor Indonesia wajib
diperbaiki. Durasi dwelling time yang seharusnya tiga hari menjadi lebih karena
pengurusan perijinan. Hal ini menambah biaya bagi importir, yang kemudian
menaikan harga jual barang. Belum lagi masuknya barang penyelundupan yang
merugikan produsen. Atau bahkan masuknya imigran gelap yang menyalahi aturan
internasional.
Menjadi tumpuan dunia internasional dalam hal maritim perlu
adanya dukungan dari seluruh lapisan rakyat. Masih jarang informasi tentang poros
maritim dunia membuatnya tidak sepopuler pilkada. Dengan memberi pengetahuan
dasar tentang kemaritiman di sekolah-sekolah menengah bisa meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang cita-cita ini.
Pemerintah berkewajiban membuat peraturan tentang cita-cita
ini, mengingat poros maritim dunia tidak bisa dibangun dalam lima tahun saja.
Diperlukan adanya regulasi yang disetujui wakil rakyat seperti Undang-Undang.
Juga dimasukan kedalam rencana pembangunan jangka panjang. Dengan demikian,
poros maritim dunia bukan hanya wacana dari Presiden semata tetapi, cita-cita
yang sudah dicicil tahapannya.
Oleh: Khoirul Faisal Fadli
(Mahasiswa Program Studi Transportasi 2016)
0 komentar:
Posting Komentar